"Guru Tidak Cari Uang, Guru Tak Perlu Kaya"
Entah sejak kapan kalimat “menjadi guru bukan untuk mencari kekayaan” dijadikan mantra nasional. Mungkin sejak negara mulai kehabisan cara membayar jasa mereka, maka muncullah dogma jalan keluar paling murah, yaitu nasihati saja supaya ikhlas.
Guru, katanya, adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Sebuah kalimat yang terdengar indah, sampai kita sadar bahwa “tanpa tanda jasa” ternyata bukan metafora, tapi kenyataan ekonomi. Guru tetap berdiri di depan kelas, meski meja rapuh, air mata anak istri mengalir, serta tungkunya tak lagi mengepul. Seakan Guru adalah jalan suci dan tak boleh dicemari angka rupiah. Bahkan harus mati, miskin dan jadi martir baru dianggap sebagai pahlawan sejati.
Lucunya, hanya profesi guru yang diminta berpuasa dari cita-cita finansial. Dokter boleh kaya, pengacara boleh mewah, pejabat boleh berlimpah, tapi guru? Cukup sejahtera dalam hati dan berterima kasih karena masih diingat setiap Hari Pendidikan Nasional.
Ironinya, guru diminta mencetak generasi emas dengan tangan yang tak pernah menyentuh logam. Diminta mendidik tentang nilai, sementara hidupnya sendiri diukur dengan “honor sukarela”. Diminta mengajarkan kejujuran, tapi gajinya sering tak jujur jumlahnya.
Dan ketika ada guru yang berhasil hidup layak, kita buru-buru menyebutnya “matre” seolah kesejahteraan adalah dosa, dan kemiskinan adalah bukti cinta tanah air. Betapa pandainya bangsa ini menyulap penderitaan menjadi moralitas, dan menukar tanggung jawab negara dengan ceramah tentang keikhlasan.
Padahal guru tidak sedang meminta istana, hanya meminta penghargaan yang sepadan. Karena di tangan mereka bukan hanya kapur dan spidol, tapi masa depan seluruh negeri, termasuk mimpi anak istri.
Jadi, bukan gurunya yang perlu diajari untuk tidak mencari kekayaan.
Yang perlu diajari adalah mereka seper negara dan pejabat-pejabatnya.
Gayam, 09 Oktober 2025
Penulis Fery Yatmiko

Komentar
Posting Komentar