Ilustrasi Fenomena Gen Z (doc. Abu Hasna)
SMAMUGA - Menjaga etika bahasa di era media sosial Gen Z merupakan sebuah tantangan yang sangat berat bagi para pemerhati generasi bangsa. Sumenep (19/09/2025).
Fenomena Sarkasme di Media Sosial
Perkembangan media sosial seperti TikTok, YouTube, dan platform lainnya menghadirkan tren bahasa baru yang sering kali jauh dari norma ketimuran. Kata-kata seperti anjing, goblok, njir, anjai, jiancuk, dan sejenisnya kini kerap dipakai sebagai bentuk ekspresi spontan, hiburan, atau bahkan dianggap sebagai candaan yang mempererat kebersamaan. Pengaruh film, serial, dan konten digital juga semakin mempopulerkan kata-kata kasar sehingga dianggap biasa.
Namun, tren ini memunculkan dilema kultural. Dalam pandangan masyarakat timur, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan cermin martabat, nilai, dan identitas. Maka, muncul pertanyaan penting: apakah bahasa kasar ini bisa ditolerir sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, atau justru merupakan ancaman terhadap budaya sopan santun yang menjadi ciri khas bangsa?
Norma Ketimuran dan Agama sebagai Penjaga
Dalam tradisi timur, terutama di Indonesia, bahasa yang santun adalah simbol penghormatan, baik kepada orang tua, guru, maupun sesama. Agama pun mengajarkan pentingnya menjaga lisan: ucapan yang baik bisa menjadi doa, sementara ucapan yang buruk bisa berubah menjadi dosa. Oleh karena itu, penggunaan kata-kata kasar—meskipun dalam konteks bercanda—tetap dipandang tidak patut, karena berpotensi menormalisasi kebiasaan yang merusak etika sosial.
Norma masyarakat kita sesungguhnya menyediakan banyak alternatif ekspresi yang lebih bijak dan penuh makna tanpa harus merendahkan. Humor tradisional, satire halus, atau permainan kata khas budaya daerah bisa tetap menghadirkan tawa tanpa mengikis nilai kesantunan.
Peran Guru dan Figur Publik
Sebagai pendidik, saya pernah mengalami situasi ketika anak didik saya secara tidak sengaja melontarkan kata “jiancuk” dan “njing” dalam percakapan santai. Meskipun itu dianggap “keceplosan” atau simbol kebersamaan, saya tidak menolerir hal tersebut. Teguran keras saya sampaikan, disertai dengan edukasi tentang pentingnya menjaga lisan sesuai norma agama dan budaya.
Pendekatan ini menjadi penting agar siswa tidak hanya takut dimarahi, tetapi juga memahami alasan moral dan kultural di balik larangan tersebut. Guru tidak boleh permisif, sebab ruang kelas adalah benteng terakhir bagi pendidikan nilai dan etika, di tengah derasnya arus pengaruh media sosial.
Selain guru, para seniman, artis, agamawan, dan budayawan juga harus turun tangan. Mereka memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat, terutama generasi muda. Jika para figur publik mencontohkan komunikasi yang santun dan kreatif, budaya berbahasa yang baik dapat kembali menjadi arus utama.
Menjaga Martabat Bahasa sebagai Warisan
Bahasa bukan hanya alat untuk mengungkapkan isi hati, tetapi juga cermin peradaban. Normalisasi kata-kata kasar, jika tidak dibatasi, dapat mengikis nilai luhur bangsa. Oleh sebab itu, sikap tegas namun mendidik sangat diperlukan: bukan sekadar melarang, tetapi juga memberikan kesadaran akan pentingnya menjaga martabat dalam bertutur.
Di tengah gempuran budaya digital, menjaga kesopanan berbahasa adalah bentuk perlawanan kultural sekaligus tanggung jawab moral. Kita perlu mengingat bahwa bangsa ini dikenal karena sopan santunnya, dan warisan itu hanya akan lestari bila kita, bersama-sama, menjaga dan mewariskannya pada generasi berikutnya.
Karang Tengah 2025
Penulis Feri Yatmiko
Editor Abu Hasna

Komentar
Posting Komentar