Ilustrasi Dari Ethiopia Ke Gaza Palestina (doc. Feri Yatmiko)
SMAMUGA - Luka Yang Berulang, Dari Ethiopia ke Gaza Palestina (Kemanusiaan yang Terus Terabaikan). Sumenep (20/09/2025).
Pada dekade tahun 1980-an, dunia pernah diguncang oleh tragedi kelaparan dahsyat di Ethiopia. Jutaan manusia kehilangan hak hidup yang paling dasar. Bencana tersebut bukan hanya akibat kekeringan, tetapi juga perang sipil dan kebijakan politik yang abai terhadap penderitaan rakyat. Solidaritas dunia kala itu segera mengalir. Menjadi simbol kepedulian global yang melintasi batas agama, ras, dan negara.
Setelah beberapa dekade berselang, dunia kembali dihadapkan pada tragedi serupa di Gaza, Palestina. Bedanya, penderitaan di Gaza bukan disebabkan oleh bencana alam, melainkan blokade militer, serangan udara, serta kebijakan politik yang menutup akses terhadap makanan, air bersih, listrik, obat-obatan, bahkan ruang hidup yang layak. Warga sipil, khususnya anak-anak dan perempuan, kembali menjadi korban paling rentan. Banyak pihak menyebut kondisi ini sebagai bentuk genosida yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina, karena menyasar hak hidup yang paling mendasar secara sistematis.
Persoalan kemanusiaan seharusnya universal. Nyawa seorang anak di Ethiopia tempo lalu sama berharganya dengan nyawa seorang anak di Gaza hari ini. Namun, realitas memperlihatkan adanya standar ganda. Dunia bergerak cepat ketika bencana alam melanda, tetapi menjadi terpecah dan penuh tarik ulur ketika tragedi lahir dari konflik politik dan militer. Genosida di Gaza seakan dibiarkan berlangsung di depan mata, sementara suara kecaman kerap kalah oleh kepentingan negara besar dan aliansi kekuasaan.
Gerakan masyarakat sipil menunjukkan ketulusan. Lembaga non-pemerintah, komunitas, dan individu terus berupaya menggalang solidaritas untuk Palestina. Namun, tindakan negara sering kali terhambat oleh diplomasi dan kepentingan politik. Seruan kemanusiaan sudah bergema, tetapi belum mampu menghentikan praktik genosida yang nyata terjadi di Gaza. Dunia seperti kehilangan keberanian untuk menegakkan nilai-nilai yang sesungguhnya telah disepakati dalam hukum internasional.
Pelajaran sejarah semestinya membuat dunia lebih peka. Ironisnya, kaum Yahudi Israel yang catatan terdahulu menjadi korban genosida kini justru menjadi pelaku di tanah Gaza. Sejarah bukan hanya dilupakan, tetapi diulang dengan wajah baru. Jika pola ini terus dibiarkan, maka generasi mendatang hanya akan mewarisi lingkaran penderitaan yang sama.
Kini, dunia membutuhkan kepemimpinan baru, pemimpin yang adil, berilmu, dan humanis. Politik seharusnya menjadi alat penyelamat, bukan instrumen yang menghancurkan. Hanya dengan menyingkirkan pongah dan nafsu angkara, manusia dapat kembali pada hakikatnya yaitu menebar cinta, bukan menyebar luka.
Dulu Di Ethiopia
Perut kosong menanti belas kasih.
Di Palestina hari ini
Tubuh kecil terbaring tanpa rumah.
Oh betapa perih . . .
Sejarah menulis luka di halaman yang berbeda
Namun tintanya tetap darah yang sama, darah manusia.
Nyawa adalah nyawa
Nyawaku adalah nyawamu
Nyawa disini adalah nyawa disana
Tak ada yang lebih tinggi
Tak ada yang lebih rendah.
Air mata seorang ibu
di Addis Ababa maupun Gaza City
Keringat anak di Sapudi
Keringat anak di Palestina
Adalah bahasa universal yang sama
Kita semua adalah manusia
Telah banyak ku dengar
Telah banyak kulihat
suara-suara, langkah dan langkah
dari timur hingga barat sana
Suara jerih tangis manusia
Ratapan dan tengadahan tangan dalam do'a.
Namun dentuman bom belum berubah
Tangis dan kematian tetap sama,
Palestina hujan darah
Wahai Israel dan sekutunya
Mengapa politik dan kekuasaan lapuk kau puja,
sementara kemanusiaan kalian tinggalkan?
Andai cinta menjadi bahasa yang sama
tak akan ada anak mati karena lapar
tak akan ada keluarga tercerai karena bom
tak akan ada genosida di Palestina
Luka ini harus berhenti
Tragedi ini wajib berakhir
Tuhan, tolonglah saudaraku
Tolonglah Palestina.
Kawan, Maafkan kami
Jika hanya secarik do'a
Serta secarik kata yang bisa ku beri
Untukmu Palestina
Aku sungguh mencintaimu
Gayam, September 2025
Penulis Feri Yatmiko
Editor Abu Hasna

Komentar
Posting Komentar