Ilustrasi Ludruk Di Kepulauan Sapudi (doc. Abu Hasna)
SMAMUGA - Hakikat Khayal (Sebuah Refleksi Seni Sebagai Tontonan dan Tuntunan)
Di pulau yang jauh dari riuh kota,
hiburan menjadi pelipur sepi.
Ludruk menari di panggung kayu,
musik karaoke menjerit di malam hari.
orang-orang tertawa, bersorak,
seolah dunia cukup dengan riang sesaat.
Namun ada hati yang gelisah,
tertawa tapi hambar,
bernyanyi tapi kosong.
Hiburan yang dulu menggetarkan,
kini hanya lalu-lalang bayangan.
Ada kerinduan yang lebih dalam,
kerinduan pada kata, pada tanya,
pada percakapan yang menyala seperti pelita.
Diskusi.
Forum yang jarang lahir di Sapudi,
tapi selalu dirindu jiwa yang haus.
Di sana pikiran saling bertemu,
hati saling menyingkap,
dan manusia merasa lebih dari sekadar penonton.
Tapi ia menjadi pencari.
Ah, tapi mungkinkah hiburan dan pencerahan
harus selalu terpisah?
Tidak.
Ludruk bisa jadi cermin,
puisi bisa jadi doa,
musik bisa jadi jalan pulang.
Jika disusupi makna,
hiburan berhenti jadi tontonan,
berubah menjadi tuntunan.
Bayangkan
teatrikal puisi usai,
lampu meredup,
lalu lahir tanya dan jawab.
Ludruk berakhir dengan renungan,
musik ditutup dengan makna syair.
Seni menggugah rasa,
diskusi menuntun arah.
Dua arus bertemu,
menciptakan sungai baru
hiburan yang mencerahkan.
Dan malam Sapudi tak lagi hanya bergema tawa,
tetapi juga gema makna.
Karena pada akhirnya,
yang dicari hati bukan sekadar senyum,
melainkan cahaya yang tinggal,
meski panggung sudah gelap
dan musik telah diam.
Gayam, 22 September 2025
Penulis Feri Yatmiko
Editor Abu Hasna

Komentar
Posting Komentar